Minggu, 28 Juli 2013

Analisa UU Kesehatan No.36 Tahun 20099


ANALISA TENTANG UU KESEHATAN No.36 Tahun 2009

Setelah mencermati UU Kesehatan No.36 tahun 2009, terdapat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk UUK yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang kelima adalah bahwa UUK No. 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka terdapat suatu pokok pikiran yaitu telah ada niat ingin melakukan perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental pada UU Kesehatan sebelumnya (No 23 tahun 1992) bergeser menjadi paradigma sehat.
Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan Undang - Undang yang berwawasan sakit (UU Kesehatan No.23 tahun 1992). Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi. Setelah membaca undang-undang kesehatan terbaru ini jelas mampu menjawab komplesitas pembangunan kesehatan yang tidak terdapat (tertampung lagi)  dalam Undang – undang Kesehatan yang lama.
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Masyarakat walaupun dalam undang-undang ini disebutkan seperti pada Bab 1 Ketentuan umum pasal 1 ayat 2 menyebutkan “Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.” Penjelasan dari ketentuan umum seperti yang ada pada bab V tentang sumber daya bidang kesehatan, bahkan keterangan lainnya pada pasal-pasal berikutnya tentang masyarakat tidak ditemukan sama sekali, padahal sangat jelas di atas, ada tiga penyelenggara upaya kesehatan yaitu pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Undang-Undang Kesehatan terbaru ini (no. 36 tahun 2009) akan semakin kurang jelas bila dikaitkan dengan mereka yang bekerja dalam lingkup kesehatan masyarakat karena “pengertian kesehatan Masyarakat”, pengertian tentang “kesehatan” memang ada dalam undang-undang ini ( Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 1 ) yaitu “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Namun pengertian tentang kesehatan masyarakat sebagai kunci dari paradigma sehat sama sekali tidak ditemukan.
Pada penjelasan pasal 3, sedikit dijelaskan tentang kesehatan masyarakat, namun kalau dicermati, pasal 3 dan penjelasannya tersebut hanya merupakan penjabaran dari pengertian tentang “kesehatan” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang kesehatan terbaru ini. Pasal 3. tersebut menyatakan “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.” Penjelasannya dari Undang-undang ini  adalah  “Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Dalam penjelasan tersebut Pengertian atau definisi tentang kesehatan masyarakat sama sekali tidak ditemukan, padahal dalam Pasal 33 ayat 1 “Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.” Namun “Apakah Kesehatan Masyarakat itu?, tidak jelas atau belum jelas dalam undang-undang kesehatan ini. Sehingga ketika masuk pada bab II asas dan tujuan, sebenarnya undang-undang kesehatan ini ditujukan kepada siapa, Apakah untuk masyarakat?, yang jelas tidak mungkin secara tersirat ditujukan kepada masyarakat tetapi karena tidak tersurat, sehingga undang-undang hanya ditujukkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Bab-bab lainnya dan pasal-pasal selanjutnya misalnya bab III tentang Hak dan Kewajiban, pada bagian pertama tentang hak hanya berisi hak-hak perorangan tentang kesehatan, nanti pada bagian kedua tentang kewajiban berisikan kewajiban kesehatan terhadap diri sendiri, masyarakat dan wawasan lingkungan sehat. “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.”
Namun demikian Kewajiban atau tanggung jawab masyarakat itu sendiri tidak ditemukan, —sekali lagi tidak ditemukan——– yang ada hanyalah tanggung jawab pemerintah, seperti yang diuraikan dalam bab IV. Di Bab lain juga hanya ada peran serta masyarakat seperti yang diuraikan pada Pasal 174 dan pasal 175 Bab XVI tentang peran serta masyarakat, berbunyi “ Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, secara aktif dan kreatif”
Namun sekali lagi kesehatan masyarakat, dan atau masyarakat dalam undang-undang kesehatan terbaru ini sepertinya masih perlu dijabarkan lagi atau diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kesehatan, atau telah dijabarkan sebagaimana dicantumkan dalam “Pasal 203 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”
UUK 36/2009 telah mengakomodir dan memasukkan isu (1) paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; (2) pengakuan terhadap isu-isu kesehatan reproduksi, di Bagian ke Enam Pasal 71 sampai Pasal 77, (3) aborsi yang diperluas untuk korban perkosaan, yakni dibolehkannya aborsi dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 ayat 2 dan 3), (4) pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD di mana 2/3 untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, (5) dukungan pemberian ASI eksklusif, di mana pemerintah dan masyarakat harus mendukung hal ini dengan menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung (Pasal 128), bahkan jika tidak maka ada ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan (Pasal 200), (6) kesehatan remaja dan lanjut usia, serta (7) hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV).  Diakomodirnya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam UUK ini.
Walau demikian, bukan berarti puncak dari keberhasilan telah diraih. Kenyatannya, UUK 36/2009 tidak sepenuhnya mengakomodir kebutuhan khusus perempuan. Artinya, disatu sisi, UUK 36/2009 melepaskan satu kaki kanan, dan di sisi lain, mengikat kaki kiri. Sebagai contoh, pertama, masih diskriminatif dan menempatkan perempuan pada pihak yang tidak otonom atas tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi harus dengan persetujuan suami bagi yang telah menikah (Pasal 75 ayat 3).
Kedua, hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 72, ”Setiap orang berhak: a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah; b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.” Rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tapi justeru direduksi atas dasar status perkawinannya.
Ketiga, persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Jika UUK masih mengharuskan hubungan yang sah, maka hak kesehatan reproduksi individu lajang menjadi diabaikan. Karena, dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah menikah.
Keempat, potensi kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan keadilan. Potensi mengkriminalkan orang tidak bersalah, khususnya perempuan, termasuk pula menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal tentang ketentuan pidana. Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 ’Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada bagian ini, UUK 23/1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada para medis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam UUK 36/2009 ketentuan pidana ini berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. Karena UUK hanya mengecualikan aborsi untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih di bawah 6 minggu.
Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar UUK 36/2009, terutama Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana lapangan dari UUK 36/2009 ini benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat. Sehingga, UUK 36/2009 menjadi undang-undang yang lahir karena respon kebutuhan sebagai jawaban atas persoalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE PADA DEWASA A.      DEFINISI ·          Diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau t...